Cerpen - Rusiah

 


Karena hujan sedari pagi aku memilih untuk tidak kemana mana. Yang tambah membuat ku kesal lagi lagi ada pemadaman listrik. Hari ini entah sampai berapa lama. Padahal aku pernah sampaikan keluhan tentang ini ke kepala desa agar menyampaikan keluhan ke pihak berwenang. Tapi tidak ada jawaban. Sudah menjelang magrib masih ku tunggu listrik nya di kontrakan. Jendela dan pintu aku buka lebar lebar agar cahaya dapat masuk ke dalam. Lilin juga ku nyalakan. Walau remang remang setidaknya cukup untuk membaca buku. Aku duduk di dekat pintu seraya memakan sepiring pisang rebus dari Bu sum. Kalau boleh jujur, baru sebulan di desa ini aku merasa sudah tinggal satu tahun.Lokasinya yang terpencil membuat ku rindu ibu dan rumah. Sungguh. Namun ya apa boleh buat bukan kah ini cita citaku. Menjadi pegawai negeri. Ibu menyuruh aku sabar sampai 2 tahun kedepan. Semoga paman ku yang kepala dinas bisa membantu permohonan mutasi yang alot. Pokoknya aku tidak mau lagi lebih lama dari 2 tahun. Minggu depan aku akan pulang sebentar menemui paman. Terpenting aku akan memberi kejutan ulang tahun pada ibu.

 Aih lilin nya mati. Tertiup angin dari luar. jika sudah malam begini tak ada harapan listrik akan menyala. Apa boleh buat menumpang tidur di rumah Bu Sum sajalah. Setelah mengunci rumah rapat rapat aku bergegas ke rumah beliau. Jaraknya tidak jauh hanya terhalang beberapa petak kebun. Di jalan terdengar hanya suara teriakan parau yang sayup sayup berasal dari gubuk dekat kebun tempat anak Bu sum. Bu sum sempat cerita bahwa anaknya menderita gangguan jiwa sejak 1 tahun lalu. Memang di desa ini ada setidaknya 3 orang yang mengalami gangguan jiwa alias gila. Banyak juga ya. Yang membuat ku bergidik, konon mereka gila karena berguru pada ilmu gaib tapi tak kesampaian. Jadi sukma waras mereka terjebak di alam lain. Tapi ada beberapa orang yang sudah sembuh entah dengan cara apa. Malah, yang aku ketahui mereka kini adalah orang orang terpandang di desa. Salah satunya pak Jumari juragan cengkeh. Luas kebun nya sepanjang mata memandang. Rumahnya besar sekali.

Kulihat pintu dan jendela Bu sum tertutup. Ku ketuk pelan, lalu beliau membukakan pintu. "Neng, belum ada listrik ..nginep disini aja ya urang ngariung (kita ngumpul)" Spontan aku langsung mengiyakan memang itu tujuanku. Bu sum sudah ku anggap seperti saudara sendiri. Perlakuan nya begitu baik. Sudah tidak terhitung berapa piring makanan yang beliau berikan. Anaknya yang bernama Yanti juga merupakan muridku di SD . manis dan pintar. Tapi di sekolah ia dimusuhi karena punya kakak yang gila. Pun warga desa lain terlihat memusuhi keluarga yang mempunyai "orang gila" seakan kegilaan itu adalah sesuatu yang menular dan menakutkan. Padahal Bu sum pernah bercerita penyebab anak nya begitu adalah karena ia kecanduan obat anti depresan selepas di tinggal wafat ayahnya. Sangat jauh dari hal mistis bukan?!. Ku pikir orang orang desa lah yang tidak waras memusuhi keluarga yang jelas jelas baik, tulus dan ramah seperti keluarga Bu sum. 

Malam ini Bu sum dan Yanti lebih pendiam. Pilihan ku hanya satu yaitu tidur. Biasanya kami bertiga bercerita ngalor ngidul sampai Berjam jam. Mereka sering membahas mitos mitos wedal. Sangat menyenangkan mengobrol dengan mereka. Akupun baru tahu arti arti wedal ku berkat mereka. Mereka paling antusias membahas soal tanggal lahir ku. Sampai sampai mereka menghitung angka mengotak Atik kombinasi tanggal bulan dan tahun lahir ku. Seru sekali. 

Keesokan harinya Trak Trak suara pintu terbuka. Entah bagaimana tiba tiba Bu sum merintih kesakitan mungkin kakinya terkilir. Setiap pagi beliau selalu memberi makan ke gubuk. Namun sekarang kakinya terkilir jadi aku menawarkan diri untuk menggantikan ditemani yanti. Kebetulan juga sekarang hari Minggu tidak ada keharusan untuk pergi ke sekolah. 

Di bekalilah serantang bubur sederhana. Oh ya aku juga di bekali obor. Padahal fajar sudah terbit buat apa repot repot menyalakan obor. Aneh.Tapi karena tidak enak karena permintaan Bu Sum aku bawa saja obor itu. 

Sepanjang jalan ku menghela nafas. Apa bisa aku memberi makan orang gila. Bagaimana nanti sajalah toh Yanti ikut denganku. Sebetulnya aku pernah sekali berkunjung, masih segar dalam ingatan bagaimana tatapan kosong lelaki itu. Seakan sukmanya tidak ada di dalam raganya. Seakan pikirannya terbang mengawang kemana. 

Begitu sampai di gubuk yanti menancapkan obor sambil berbisik bisik sendiri, kemudian meniupnya lalu menyalakan nya lagi. Tiba tiba aku mendengar suara berdenging dan sedikit pusing selama beberapa detik sama seperti waktu pertama kali aku berkunjung. 

Hari hari berikutnya ku lewati seperti biasa. Pagi sampai siang mengajar. Di rumah aku pun masih menyusun strategi mengajar untuk keesokan hari. Paling membuat lelah itu aku harus menghadapi beragam karakter siswa dan warga sekolah. Ada yang begini ada yang begitu. Namun itu tidak ada apa apanya dibandingkan dengan pak kepala sekolah botak. Hubungan kami kurang baik. Bahkan terakhir kali ia bersikap seolah olah dia tidak suka keberadaan ku disini. Siapa pula yang suka berlama lama disini gumamku dalam hati. 

Besok aku akan pulang ke kota selama 3 hari. Terbayang wajah ibu dan suaranya yang cerewet. Ku berkemas. 

Tok tok tok "Bu elda, Bu elda, tolong aden" Suara Yanti terdengar panik. Ia basah kuyup. Wajahnya pucat "Ya ampun Yanti, kemana payung mu? Ada apa?" Aku diminta untuk ke gubuk sekarang juga Yanti berkata bahwa Aden berteriak teriak kesakitan. Setibanya disana beberapa obor tertancap rapi Bu sum komat Kamit entah apa yang dia ucapkan. Aku sama sekali tidak mengerti. Aku menawarkan untuk memanggil mantri karena tidak tega melihat Aden. Tapi Bu sum malah meniup semua obor sehingga di gubuk gelap gulita. Terakhir ku dengar dia mengatakan "hampura" seraya mengusap wajahku. Lalu aku tidak bisa melihat apa apa. Tangan Yanti yang semula aku genggam juga tidak Ada. Suara hujan tidak terdengar. Ketika aku memanggil manggil Bu sum dan Yanti mereka tidak menjawab. Tangan dan kakiku terikat terpasung. Obor kembali menyala namun aku tidak tahu ini Dimana. Semua tampak hitam. Aku tidak berada di tempatku semula, Aku dimana? Aku ingin pulang!!!

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Kapan Nikah?

Madilog : Jembatan Keledai dan Tan Malaka

Pantjoran : Kuliner Pecinan di Pulau Reklamasi